MEMULAI MENULIS DAN MENGATASI WRITER BLOCK
Oleh Gola Gong
Menulis cerita fiksi (cerpen dan novel) itu
gampang, kata orang. Ah, masak?
Bagi yang gampang, ya gampang. Bagi yang sulit, ke
laut ajah. Lalu bagi saya, bagaimana? Sudah puluhan novel saya tulis, apa itu
bukan berarti gampang? Ah, tidak juga. Bagi saya, tidak ada yang gampang di
bumi ini dan tidak ada yang sulit juga, asal kita memiliki kemauan dan mau
bekerja keras. Aduh, kok berbelit-belit amat, sih?
To the point sajalah,
”Menulis itu gampang atau susah?”
GAMPANG VS SUSAH
Oke. Bagi saya, menulis itu bukan
terletak pada persoalan “gampang” atau “sulit” atau “susyeh”. Tapi, sudah
sejauh mana persiapan kita ketika hendak menulis. Soalnya, ada yang menulis
fiksi tanpa persiapan apa-apa, langsung duduk di depan computer, pintu kamar
ditempeli tulisan “don’t disturb” dan dikunci. Saya jamin jika seperti itu,
menulis fiksi tidak gampang alias susehnya minte ampun, dah!
Lantas, seperti apa yang disebut “menulis itu gampang”? Cepetan, sudah tidak
sabar, neh! Hehehe, begini. Jika kita ingin mendapat kemudahan dan selamat di
jalan-Nya, setiap kita hendak menulis fiksi (cerpen atau novel), kita harus
mempersiapkannya terlebih dahulu. Wah, ada persiapannya segala, ya? Kayak mau
kemping saja, ya. Memang begitu kalau ingin menulis fiksi dengan gampang bin
mudah, sehingga lancar seperti sedang meluncur di jalan tol.
Caranya? Ini resep saya, ya. Bisa saja resep penulis yang lain berbeda.
Jadi, ini adalah pengalaman pribadi saya. Ingat sebuah hadist yang mengatakan
”bahwa semua yang kita kerjakan adalah
tergantung niatnya” ’kan? Nah,
niat kita menulis itu untuk apa? Popularitas? Ekonomi? Atau ibadah? Nah, soal ekonomi dan ibadah sebetulnya
masih berhubungan alias saudara dekat. Jika kita menulis tujuannya adalah uang,
tidak salah juga. Dengan uang, kita bisa memulai menulis lagi dan tentu
beribadah. Percayalah, ibadah itu butuh ongkos. Percaya tidak, jika kelima
rukun Islam itu, yang tidak membutuhkan
uang hanya rukun Islam yang pertama saja: membaca syahadat. Sedangkan sholat,
puasa, zakat, dan naik haji butuh uang. Sholat butuh baju, sarung, dan peci.
Intinya itu menutup aurat, tapi tetap saja butuh uang untuk membeli yang
termurah sekalipun. Nah, untuk memeroleh uang, kita harus bekerja. Menulislah
cara mudah mendapatkan uang. Heheheh, jadi ngelantur.
MEMBACA
Oke, kembali ke persoalan semula. Setiap saya hendak menulis cerpen/novel,
yang pertama saya lakukan adalah membaca. Ya, membaca, membaca, membaca,
membaca. Membaca terus? Iya. Membaca koran, buku, dan novel. Membaca
program-program di televisi, mulai dari sinetron, berita, talk show, gossip,
dan film. Juga membaca dunia atau membaca lingkungan. Membaca cerita-cerita
teman dengan cara mengobrol. Pokoknya, seluruh panca indra kita diaktifkan;
mata, hidung, telinga, mulut, kulit, bahkan hati kita.
Kenapa hati diaktifkan? Penulis
itu harus sensitif. Hatilah kuncinya. Jika kita membaca lingkungan di sekitar kita, lalu kita menemukan seorang pengemis,
apa yang dilakukan oleh hati kita? Tersentuh? Trenyuh? Jatuh iba?
MENGGALI IDE
Dari peristiwa kemembacaan kita terhadap pengemis buta itu, sebagai calon
penulis, kita harus meresponnya dengan positif. Itu adalah sumber ide. Banyak ide-ide bergelakan
atau bersliweran di sekeliling kita. Hanya saja, karena kita tidak tahu metodenya, calon-calon ide itu raib
entah kemana.
Ada senjata ampuh untuk bisa menggali ide. Yaitu cara-cara yang
biasa digunakan oleh para wartawan; 5 W plus 1 H (where = dimana, when = kapan,
why = mengapa, what = apa, who = siapa, plus how = bagaimana). Kenapa begitu? Karena inilah cara yang paling
praktis dan mudah serta efektif untuk menghantarkan kita menjadi seorang
pengarang. Caranya?
5 W plus 1 H adalah metode jurnalistik yang dipakai untuk mengukur sebuah
berita. Itu ternyata memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur yang dimiliki oleh
sebuah cerpen atau novel. Dengan 5 W plus 1 H kita diajarkan untuk kritis dan
teus menggali calon ide menjadi ide untuk cerpen/novel kita.
Kita mulai saja dari calon ide seorang pengemis buta itu. Kita harus mau
mewawancarai dia. Kita mengajukan sebanyak mungkin pertanyaan kepada dia; umur
berapa, kapan dia buta, punya anak berapa, penghasilannya berapa, penah sekolah
atau tidak, dan sebagainya. Lalu kita menuliskannya seperti ini:
Pak Ahmad mengambil matanya, sebuah
tongkat terbuat dari kayu besi pemberian mendiang ayahnya 20 tahun lalu. Jika
sedang memegang tongkat itu, dia selalu teringat pesan ayahnya, ”Tongkat ini
adalah matamu, Nak. Jangan kau jadikan sebagai alat untuk meminta-minta, tapi
jadikanlah esbagai alat untuk menjalani kehidupan dengan bekerja.”
Seperti diiris-iris sembilu hatinya,
karena dia tidak berhasil mewujudkan petuah ayhnya. Ternyata tidak mudah
menjadi orang buta di negri ini. Selain dibutuhkan ketrampilan, juga mental
baja. Berkali-kali dia melamar pekerjaan, tapi yang dia bisa lakukn adalah
memijit. Ketika muda, hal itu bisa dilakukannya unutk menyambung hidupdemi
seorang istri yang juga buta. Tuhan tidak memberinya anak. Setelah tua,
mengemis adalah cara terbaik yang bisa dilakukannya.
Nah, itu sekedar contoh saja. Kita bisa menemukan banyak calon ide menjadi
ide dan kita olah mnejadi cerpen/novel dengan resep 5 W plus 1 H itu. Tentu
imajinasi menjadi perekat itu semua. Tanpa imajinasi, akan terasa hambar karya
kita.
IMAJINASI
Tapi kadang kita tidak menyadari itu. Padahal sebetulnya imajinasilah yang membedakan
pengarang dan bukan pengarang. Darimana kita memeroleh imajinasi? Ya, dari
kebiasaaan kita membaca buku (novel/cerpen atau non-fiksi) serta menonton film.
Kedua kegiatan iut adlah yang menumbuhkan kualitas imajinasi kita.
Imajinasi sebetulnya termasuk unsur fiksi terpenting selain sinopsis, alur,
plot, konflik, sudut pandang, karakter, latar tempat/waktu, suasana, dan ending
cerita Dengan imajinasi, proses membaca kita mnejadui lebih afdol. Saat kita
menuliskan ide kita ke dalam bentuk fiksi, writer’s block yang sering
ditakutkan oleh para penulis pemula (juga penulis seperti saya), insya Allah,
tidak akan terjadi.
”Macet, nih!” kata seorang penulis pemula. ”Aduh, mandeg!” kata penulis
yang sudah berpengalaman. Itu beragam sebabnya. Kalo penulis pemula, biasanya
sebelum menulis kita tidak memiliki persiapan dulu. Seperti membaca buku,
memahami 5 W plus 1 H, dan memahami pula apa yang harus kita tulis.
Untuk menghindari kemandegan itu, mulailah kita mengembangkan sayap-sayap
imajinasi kita. Setelah ide tergali, langkah berikutnya adalah membuat
sinopsis, membikin alur, mengembangkan plot, menentukan sudut pandang, mengolah
karakter, mencari latar tempat dan waktu, serta mengolah akhir cerita (happy
atau sad).
RISET
Kdang kita memang sering tergesa-gesa ingin menjadi pengarang. Sebetulnya
ada proses panjang yang harus dilewati calon pengarang. Sediakanlah waktu
selama 2 hingga 3 tahun. Setelah kita memiliki ilmu-ilmu kepengarangan dari
buku atau pelatihan-pelatihan, cobalah kita melakukan riset pustaka (membaca
buku), riset lapangan atau observasi. Gembleng jiwa kita. Lalu asahlah kepekaan
kita dengan menuliskanya.
Adagium dari filsuf Inggris W.Sommerset Maugham yang mengatakan, “Pergilah dari rumah, lalu tuliskanlah
pengalaman-penalamanmu,” itu ada benarnya. Bagimana mungkin kita bisa berhasil
menulis, jika yang kita tulis adalah sesuatu yang tidak kita kuasai? JHK
Rowling juga menyarankan begitu, “Tulislah hal-hal yang kamu ketahui”.
Intinya, riset lapangan atau riset pustaka sangatlah penting. Itu bagian
dari investasi kita dalam menulis. Boisa saja kita jalan-jalan ke pasar, mal,
bank, penjara, rumah sakit, pantai, gunung, stasiun kereta, dan terminal bus. Lalukn
wawancara di tempat yang kita kunjungi. Itu adalah bagian dari observasi.
Setelah itu kita lakukan, cobalah melakukan riset pustaka terhadap apa-apa yang
sudah kita lakukan.
Terbayang sudah
‘kan? Bahwa untuk menjadi penulis itu jiwa dan pikiran kita harus terisi penuh
oleh sumber bacaan dan pengalaman di lapangan. Jika tidak begitu, bisa-bisa
yang terjadi, kita terbengong-bengong di depan komputer. Selamat menulis saja! *)
Pembagian hadiah bagi 3 peserta terbaik penulisan cerpen, juara satu diarih oleh peserta dengan nama Rita R, seorang guru bahasa indonesia di SMAN 1 bayung Lencir dengan tema terpen " pindah alam. Juara kedua diraih peserta dengan nama Fitri Wulandari, siswi kelas 11 IPA 2 di SMAN 1 Bayung Lencir, dengan tema cerpen " Asa yang terpenggal " , dan juara ketiga diraih peserta dengan nama Mentari dengan tema cerpen " Bidadariku dibawa Jibril ".
Diakhir acara workshop penulisan cerpen di berikan sumbangan Buku Balada Si Roy ( bendel 10 buku ) dan Ledakan idemu agar kepalamu tidak meledak kepada Sudut Baca Bayung Pustaka oleh Gol A Gong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar